10 Tanda, Anak BERBHAKTI


Allah Ta’ala Berfirman: “Allah telah menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada-Nya; dan hendaklah kalian berbakti kepada kedua orang tua.” (QS. Al-Isra: 23).
 

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Maukah kalian
kuberitahukan dosa besar yang terbesar?
” 


Para Sahabat menjawab, “Tentu mau, wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.” Beliau bersabda, “Berbuat syirik kepada Allah, dan durhaka terhadap orang tua.”

Kemudian, sambil bersandar, Beliau bersabda lagi, “ ...ucapan dusta, persaksian palsu...Beliau terus meneruskan mengulang
sabdanya itu, sampai kami (para Sahabat) berharap beliau segera
terdiam.
" (HR. Bukhari dan Muslim).


Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga bentuk doa yang amat mustajab, tidak diragukan lagi : Doa orang tua
untuk anaknya, doa seorang musafir dan orang yang yang
terzhalimi.
” (HR. Bukhari dan Muslim).


Subhanallah…, begitu mulianya anak yang mau berbakti kepada kedua orangtuanya. Dan langkah celakanya anak yang telah
durhaka kepada kedua orangtuanya. Sudahkah kita berbakti kepada orang tua dengan benar? Mungkin kita katakan diri kita telah berbakti.


Ternyata masih amat jauh dari kriteria berbakti. Berikut ini 10
tanda anak yang telah berbakti kepada kedua orangtuanya
:
 

Pertama : Menghormati Kedua Orangtuanya (tidak memandang keduanya dengan pandangan yang tajam dan tidak meninggikan
suara di hadapan keduanya).


Dalam Shahih Bukhari no. 2731, 2732 disebutkan bahwa jika para
shahabat berbicara kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil merendahkan suara dan mereka tidak memandang tajam kepadanya. Inilah yang dilakukan oleh para shahabat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka hormati seperti orang tua mereka. Sehingga beradab kepada kedua orang tua dimisalkan dengan cara seperti ini pula.



Kedua: Tidak Mendahului atau Menyelak Kedua Orangtua dalam
Pembicaraan. Adab ini dapat dipahami dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Dulu kami berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian didatangkanlah bagian dalam pohon kurma. 


Lalu beliau mengatakan, “Sesungguhnya di antara pohon
adalah pohon yang menjadi permisalan bagi seorang muslim.” Aku (Ibnu ‘Umar) sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu adalah pohon kurma. Namun, karena masih kecil, aku lantas diam. 


Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Itu adalah pohon kurma.” (HR. Bukhari no. 72 dan Muslim no. 2811). 

Inilah sikap shahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dimana beliau tidak mau mendahulukan pembicaraan jika ada yang lebih tua umurnya dihadapannya. Padahal sebenarnya Ibnu ‘Umar mampu menjawab ketika itu. Dari sini, tidak ragu lagi, demikian pula seharusnya beradab di hadapan orang tua.

Ketiga: Tidak Duduk di hadapan Kedua Orangtua yang Sedang Berdiri. Larangan ini terdapat dalam hadits dari Jabir radhiyallahu’anh. Dia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit. Lalu kami shalat di belakang beliau, sedang beliau shalat sambil duduk dan Abu Bakar mengeraskan bacaan
takbirnya. 

Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada kami. Beliau melihat kami shalat sambil berdiri. Lalu beliau berisyarat, kemudian kami shalat sambil duduk.
Tatkala salam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Jika kalian baru saja bermaksud buruk, tentu kalian melakukan seperti yang dilakukan oleh orang Persia dan Romawi. Mereka selalu berdiri untuk memuliakan raja-raja mereka, sedangkan mereka dalam keadaan duduk. Ikutilah imam-iman kalian. Jika imam tersebut shalat sambil berdiri, maka shalatlah kalian sambil berdiri. Dan jika imam tersebut shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian sambil duduk’.” (HR. Muslim no. 413).

Imam Mushtofa al-‘Adawy rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini disebutkan mengenai hukum shalat sambil berdiri sedangkan imam shalat sambil duduk dan perinciannya bukan di sini tempatnya. Namun, dapat diambil pelajaran bahwa kita dilarang duduk ketika orang tua kita berdiri di hadapan kita.

Maka adab ini tetap bisa diambil sebagai pelajaran dari hadits ini.”

Keempat: Tidak Mendahulukan Dirinya Sendiri Sebelum Kedua
Orangtua. Hal ini dapat dilihat dalam kisah tiga orang yang tertutup dalam goa dan tidak bisa keluar. Salah seorang di antara mereka bertawasul dengan amalan berbakti kepada kedua orang tuanya. Yaitu dia selalu memberikan susu kepada kedua orang tuanya sebelum memberikan kepada anak-anaknya bahkan dia bersabar
menunggu untuk memberikan susu tersebut kepada orang tuanya sampai terbit fajar. (HR.Bukhari no. 5974 dan Muslim no. 2743).
 

Kelima: Meminta Maaf Kepada Kedua Orangtua. Seyogyanya seorang anak meminta maaf atas kesalahan dirinya kepada kedua orang tuanya karena setiap orang yang berbakti kepada kedua orang tua belum tentu bisa menunaikan seluruh hak mereka. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman, “Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.” (QS. ‘Abasa: 23).

Maksudnya adalah manusia tidaklah dapat melaksanakan seluruh perintah Rabbnya. Lihatlah saudara-saudara Yusuf, mereka meminta maaf untuk diri mereka kepada orang tuanya karena kesalahan yang telah mereka perbuat. Mereka berkata, "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". (QS. Yusuf: 97).

Keenam: Janganlah Membalas Orangtua yang Mencelanya. Allah ta’ala berfirman, “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah".” (QS. Al Isro’: 23). Imam
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Janganlah engkau memperdengarkan pada keduanya kata-kata yang buruk.

Bahkan jangan pula mendengarkan kepada mereka kata ‘uf’ (menggerutu) padahal kata tersebut adalah sepaling rendah dari kata-kata yang jelek.”

Simaklah kisah Bilal bin Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhum dengan ayahnya berikut. Abdullah bin ‘Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian, maka izinkanlah mereka.” Kemudian Bilal bin Abdullah bin ‘Umar mengatakan, “Demi Allah,
sungguh kami akan menghalangi mereka.”

Abdullah bin ‘Umar mencaci Bilal dengan cacian yang jelek yang aku belum pernah mendengar sama sekali cacian seperti itu dari beliau. Kemudian Ibnu Umar berkata, “Aku mengabarkan padamu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu engkau katakan
‘Demi Allah, kami akan mengahalangi mereka!!’ (HR.Muslim, no. 442). Lihatlah bagaimana Bilal sama sekali tidak membalas cacian ayahnya. Semoga kita bisa meneladani hal ini.

Ketujuh: Betul-betul Menginginkan Kebaikan pada Orangtuanya. Anak yang shalih haruslah selalu mengharapkan kebaikan kepada kedua orang tuanya. Walaupun kedua orang tuanya tersebut adalah kafir, anak sholih hendaklah selalu berharap orang tuanya mendapatkan hidayah dan terlepas dari adzab. Hendaklah dia selalu menasehati dan memberi peringatan kepada orang tuanya sampai dia meninggal dunia.

Simaklah Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau tidak henti-hentinya menasehati
orang tuanya dengan perkataan
yang lembut. Dia mencoba
menasehati ayahnya dengan
panggilan lembut yang dikenal
oleh orang Arab yaitu ‘Yaa
Abati’. Perhatikanlah kisah beliau
dalam ayat berikut ini:
“Ceritakanlah (Hai
Muhammad) kisah Ibrahim di
dalam al-Kitab (al-Qur’an) ini.
Sesungguhnya ia adalah seorang
yang sangat membenarkan lagi
seorang Nabi. Ingatlah ketika ia
berkata kepada bapaknya;
"Wahai bapakku, mengapa kamu
menyembah sesuatu yang tidak
mendengar, tidak melihat dan
tidak dapat menolong kamu
sedikitpun?
Wahai bapakku,
sesungguhnya telah datang
kepadaku sebahagian ilmu
pengetahuan yang tidak datang
kepadamu, maka ikutilah aku,
niscaya aku akan menunjukkan
kepadamu jalan yang lurus.
Wahai bapakku, janganlah kamu
menyembah syaitan.
Sesungguhnya syetan itu durhaka
kepada Tuhan Yang Maha
Pemurah. Wahai bapakku,
sesungguhnya aku khawatir
bahwa kamu akan ditimpa azab
dari Tuhan Yang Maha Pemurah,
maka kamu menjadi kawan bagi
syaitan".” (QS. Maryam: 41-45).
Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam juga meminta ampunan
Allah kepada orang tuanya
setelah kematiannya. Namun, hal
ini telah dilarang oleh Allah
Ta’ala sebagaimana firman-Nya,
“Dan permintaan ampun dari
Ibrahim (kepada Allah) untuk
bapaknya tidak lain hanyalah
karena suatu janji yang telah
diikrarkannya kepada bapaknya
itu. Maka, tatkala jelas bagi
Ibrahim bahwa bapaknya itu
adalah musuh Allah, maka
Ibrahim berlepas diri dari
padanya. Sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang yang sangat
lembut hatinya lagi
penyantun.” (QS. At Taubah:
114).
Ketujuh: Tidak Boleh
Mencela Kedua Orangtua
atau Menyebabkan Keduanya
Tercela. Abdullah bin ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya
di antara dosa besar adalah
seseorang mencela kedua orang
tuanya.” Lalu ada yang berkata,
“Wahai Rasulullah, bagaimana
seseorang bisa mencela kedua
orang tuanya.” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seseorang mencela ayah orang
lain, lalu orang lain tersebut
mencela ayahnya. Dan seseorang
mencela ibu orang lain, lalu
orang lain tersebut mencela
ibunya.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Kedelapan:
Melebihkan Cinta Allah dan
Rasul-Nya daripada Cinta
pada Kedua Orangtua. Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anh
berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Salah seorang di antara kalian
tidak beriman (dengan
sempurna) sampai aku lebih
dicintainya dari anak dan kedua
orang tuanya serta seluruh
manusia.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Di riwayat lain, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tiga perkara yang
seseorang akan merasakan
manisnya iman : [1] Allah dan
Rasul-Nya lebih dicintainya dari
selain keduanya, [2] tidaklah
mencintai seseorang kecuali
karena Allah, [3] benci untuk
kembali pada kekufuran
sebagaimana dia benci untuk
dilemparkan dalam neraka.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Kecintaan di sini
mengkonsekuensikan seseorang
untuk mendahulukan perintah
Allah dan Rasul-Nya dibanding
perintah kedua orang tua. Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari menukil
perkataan al-Khoththobi, di mana
beliau mengatakan, “Kecintaan
yang dimaksudkan di sini adalah
kecintaan ikhtiyar (kemauan
sendiri) dan bukanlah cinta yang
sifatnya tabi’at.”
Kesembilan: Menaati
Kedua Orangtua hanya Dalam
Kebaikan. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada ketaatan dalam
melakukan maksiat.
Sesungguhnya ketaatan hanya
dalam melakukan
kebajikan.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dari Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Mendengar dan taat
pada seorang muslim pada apa
yang dia sukai atau benci selama
tidak diperintahkan untuk
bermaksiat. Apabila
diperintahkan untuk bermaksiat,
maka tidak ada mendengar dan
taat.” (HR. Bukhari no. 7144)
Oleh karena itu, janganlah
kita mengikuti orang tua kita dan
nenek moyang kita dalam rangka
bermaksiat kepada Allah. Hal ini
telah dilarang dalam banyak ayat,
di antaranya perkataan kaum
Syu’aib kepada Nabi Syu’aib
‘alaihis salam


Sumber : Seri Ruqyah Gangguan syetan
Ust. Abu Wildan Hisan, Lc.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"SAYA TAK MAU BERPISAH DG HARTA SAYA"

:: IBADAH SHOLAT KITA ::

SIFAT-SIFAT YG HARUS DIJAUHI SEORANG MUSLIM