- TAUHID –
Allah
menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan melarang mereka dari
menyekutukan-Nya. Kemudiaan Dia sampaikan perintah tauhid kepada segenap
manusia dengan mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya, yang
menjelaskan kepada mereka seperti apa ibadah yang Dia perintahkan dan apa
kesyirikan yang Dia larang.
Sehingga
tidak ada seorang nabi pun yang diutus melainkan mengajak ummatnya kepada
tauhid dan melarang dari kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya)”
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia (untuk) membantah Allah sesudah
diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. An Nisaa : 165) Ath Thabari menerangkan dalam tafsirnya, “(Firman Allah)
((“agar supaya tidak ada alasan bagi manusia (untuk) membantah Allah sesudah
diutusnya rasul-rasul itu” Allah menjelaskan; ‘Aku mengutus rasul-rasul-Ku
dengan membawa berita gembira dan peringatan agar orang-orang yang mengingkari-Ku
dan beribadah kepada sesembahan-sesembahan selain Aku, atau tersesat dari
jalan-Ku, tidak beralasan saat Aku akan menghukumnya (dengan mengatakan):
“Wahai Rabb kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu
kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?” (QS.
Thaha : 134).
Maka Allah
memutus alibi setiap orang yang kufur, tidak mau mentauhidkan-Nya dan
menyelisihi perintah-Nya…” Maka tidak ada seorang nabi pun kecuali mengajak
umatnya kepada perkara ini dan menjelaskan kepada mereka dengan penjelasan yang
terang dan gamblang. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami
mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:
“Bahwasanya tidak ada dzat yang berhak diibadahi melainkan Aku, maka
beribadahlah kepada-Ku”. (QS. Al Anbiya : 25)
Dalam ayat
lainnya Allah berfirman (yang artinya), “Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul
Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: “Adakah Kami menentukan
sesembahan-sesembahan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?”. (QS. Az
Zukhruf : 45) Bahkan pada sebuah ayat yang agung Allah Ta’ala menceritakan
dialog antara Dia dengan ‘Isa ‘alaihis salam berkenaan dengan perbuatan
orang-orang yang mengaku mengikutinya (yang artinya), “Dan (ingatlah) ketika Allah
berfirman: “Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia:
“Jadikanlah aku dan ibuku dua orang sesembahan lain selain Allah”. ‘Isa
menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan
hakku (mengatakannya).
Jika aku
pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahui. Engkau mengetahui
apa yang ada pada diriku namun aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu.
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib”. (Qs. Al Maidah : 116)
Sehingga jadilah perkara ini dalam syariat kita perkara yang paling muhkam
(terang) dan jelas.
Perintah
Allah untuk beribadah kepada-Nya saja dan larangan dari beribadah kepada
selain-Nya Pokok ajaran Islam dan kaidah dakwah para rasul berporos pada
perkara ini, yaitu : perintah untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak
tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun. Ayat dan hadits yang menerangkan
hal ini ada banyak.
Bahkan
keseluruhan ayat Al Qur’an menjelaskan perkara ini, sebagaimana yang
diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau berkata, “Semua ayat di
dalam Al Qur’an mengandung tauhid, sebagai bukti baginya, dan mengajak
kepadanya” (Madaarij As Saalikiin, 3/450) Diantara ayat yang paling jelas
menerangkan hal ini adalah firman-Nya (yang artinya), “Dan beribadahlah kepada
Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.” (QS. An Nisaa’ : 36)
Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Dan Rabb-mu memerintahkan, jangan kalian
beribadah kecuali kepada-Nya, dan berbaktilah kepada kedua orang tua” (QS. Al
Israa’ : 23) Siapa saja yang membaca ayat di atas bisa memahami bahwa Allah
melarang dari beribadah kepada selain Dia.
Allah
melarang dari menyembelih untuk selain Dia, meminta kepada selain Dia,
bergantung kepada selain Dia, sujud kepada selain Dia, dan berbagai macam
ibadah lainnya yang hanya boleh diberikan untuk Allah Ta’ala semata. Bahkan
hampir semua muslim membaca di dalam shalatnya pada do’a iftitah, firman Allah
(yang artinya), “Sesungguhnya shalatku dan sembelihanku, hidup dan matiku
adalah hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku termasuk yang pertama
berserah diri.” (QS. Al An’am : 162) Imam Muhammad At Tamimi rahimahullah
menerangkan akan gamblangnya penjelasan Allah akan perkara ini, “…Allah
jelaskan dengan sangat gamblang untuk orang awam, (kejelasannya) melebihi
sangkaan semua orang” (Al Ushul As Sittah)
Dengan kata
lain seseorang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi atau menamatkan kuliah hanya
untuk memahami perkara agung ini, karena kalau tidak begitu berarti Al Qur’an
bukan hidayah bagi semua orang! Tapi cukup dalam hal ini seseorang membuka Al
Qur’an dan memahami artinya. Hakikat kesyirikan Sebagaimana perintah untuk
beribadah kepada Allah, Al Qur’an juga menerangkan kesyirikan yang Allah
peringatkan manusia darinya dan Allah utus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk memberantasnya.
Dan
mengetahui perkara ini, yaitu apa batasan teringan suatu perbuatan dianggap
sebagai kesyirikan, sangat berguna bagi seorang muslim untuk selamat darinya
dan dari kesyirikan lainnya yang lebih besar darinya.
Ayat pertama
yang menerangkan hal ini adalah firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka
beribadah kepada selain Allah dari apa-apa yang tidak dapat mendatangkan
kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata:
“Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah”. (QS. Yunus :
18) Ath Thabari rahimahullah menerangkan dalam tafsirnya, “(Firman Allah)
((…dan mereka berkata : “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi
Allah.”)) yaitu bahwa orang-orang musyrikin dahulu beribadah kepada
sesembahan-sesembahan mereka semata-mata mengharapkan syafaat mereka disisi
Allah” –selesai nukilan. Artinya, musyrikin dahulu tidak beribadah kepada sesembahan
mereka yang beraneka ragam dengan keyakinan bahwa mereka bisa menciptakan dan
memberi rezeki. Melainkan semata-mata karena sesembahan tersebut adalah
syufa’aa, pemberi syafaat bagi mereka disisi Allah.
Dengan kata
lain, sesembahan tersebut hanyalah perantara antara mereka dengan Allah Ta’ala.
Ayat kedua yang semakin menjelaskan hal ini adalah firman-Nya (yang artinya),
“Dan orang-orang yang mengambil wali (pelindung) selain Allah (berkata) : “Kami
tidaklah menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya”. (Qs. Az Zumar : 3) Ath Thabari rahimahullah
menjelaskan, “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali-wali
(pelindung) yang mereka cintai, dan beribadah kepadanya selain kepada Allah,
mereka berkata; Kami tidaklah beribadah kepada kalian wahai
sesembahan-sesembahan kami melainkan agar kalian mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya -(yaitu) kedudukan dan posisi (yang dekat)-, dan kamu
memberi syafa’at kepada kami disisi-Nya berkenaan dengan hajat-hajat kami” Maka
mencari syafa’at / perantara / wasilah merupakan alasan yang sudah ada pada
musyrikin terdahulu.
Bahkan
mereka tidak menyekutukan Allah melainkan karena alasan ini. Kendati demikian,
alasan ini tidak menggeser status mereka sebagai orang yang menyekutukan Allah
lagi ingkar! Al ‘Allamah ‘Abdullah Aba Buthain menukil perkataan Ibnu Taimiyah
rahimahullah, “Barangsiapa menetapkan perantara-perantara antara Allah dengan
makhluk-Nya seperti para menteri yang mejadi perantara antara raja-raja dan
rakyatnya… dengan kata lain makhluk minta kepada mereka (perantara) lalu mereka
(perantara) minta kepada Allah, …(beralasan) sebagai bentuk adab dengan tidak
langsung minta kepada-Nya, atau dengan anggapan bahwa minta kepada perantara lebih
ampuh daripada meminta kepada-Nya secara langsung, Maka barangsiapa menetapkan
perantara-perantara (antara makhluk dengan Allah) dari jenis seperti ini maka
dia tergolong orang yang ingkar lagi menyekutukan Allah, wajib dimintai taubat.
Apabila ia
bertaubat (maka diberi kesempatan memperbaiki diri). Allah Maha Kuasa, Allah
Maha Kuasa. Jikalau beribadah kepada wali dan orang-orang shalih dengan asumsi
bahwa mereka adalah sekedar perantara saja sudah merupakan kesyirikan dan
kekafiran, maka bagaimana jadinya dengan orang yang beribadah kepada jin,
hewan, pohon atau benda-benda seperti keris, barang-barang pusaka diatas
anggapan bahwa mereka bisa memberi manfaat dan memudharatkan?! Tentu yang kedua
lebih dahsyat kesyirikannya daripada yang pertama.
Allah menerangkan
bahwa menjadikan perantara dalam bentuk di atas merupakan kesyirikan dan
kekufuran pada akhir dari dua ayat di atas dalam firman-Nya (yang artinya),
“Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya
di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa
yang mereka persekutukan (itu)”. (QS. Yunus : 18) “Sesungguhnya Allah akan
memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar (kaffar)”.
(QS. Az Zumar : 3) Sehingga jelaslah bahwa perbuatan menjadikan perantara dalam
bentuk yang disebutkan merupakan kesyirikan, kedustaan, serta kekufuran.
Wallahu a’lam.
Sumber : -
Ustadz Jafar Shalih (Alumni Darul Hadits, Yaman) - Sedikit Kajian.
Komentar
Jangan palingkan hati hamba ini, Jadikan hamba dari penerima anugerah dan karuniaMu, Hanya Engkau pemberi Ijabah Ya Arhamar Raahimiin...
nabi pun yang diutus melainkan mengajak ummatnya kepada tauhid dan melarang dari kesyirikan.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya)” “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia (untuk) membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An Nisaa : 165)
Maka tidak ada seorang nabi pun kecuali mengajak umatnya kepada perkara ini dan menjelaskan kepada mereka dengan penjelasan yang terang dan gamblang. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada dzat yang berhak diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kepada-Ku”. (QS. Al Anbiya : 25)
Dalam ayat lainnya Allah berfirman (yang artinya), “Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: “Adakah Kami menentukan sesembahan-sesembahan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?”. (QS. Az Zukhruf : 45)
Bahkan pada sebuah ayat yang agung Allah Ta’ala menceritakan dialog antara Dia dengan ‘Isa ‘alaihis salam berkenaan dengan perbuatan orang-orang yang mengaku mengikutinya (yang artinya), “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang sesembahan lain selain Allah”. ‘Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahui. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku namun aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib”. (Qs. Al Maidah : 116)
Sehingga jadilah perkara ini dalam syariat kita perkara yang paling muhkam (terang) dan jelas.
Perintah Allah untuk beribadah kepada-Nya saja dan larangan dari beribadah kepada selain-Nya
Pokok ajaran Islam dan kaidah dakwah para rasul berporos pada perkara ini, yaitu : perintah untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.
Ayat dan hadits yang menerangkan hal ini ada banyak. Bahkan keseluruhan ayat Al Qur’an menjelaskan perkara ini, sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau berkata, “Semua ayat di dalam Al Qur’an mengandung tauhid, sebagai bukti baginya, dan mengajak kepadanya” (Madaarij As Saalikiin, 3/450)
Diantara ayat yang paling jelas menerangkan hal ini adalah firman-Nya (yang artinya), “Dan beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun.” (QS. An Nisaa’ : 36)
Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Dan Rabb-mu memerintahkan, jangan kalian beribadah kecuali kepada-Nya, dan berbaktilah kepada kedua orang tua” (QS. Al Israa’ : 23)
Siapa saja yang membaca ayat di atas bisa memahami bahwa Allah melarang dari beribadah kepada selain Dia. Allah melarang dari menyembelih untuk selain Dia, meminta kepada selain Dia, bergantung kepada selain Dia, sujud kepada selain Dia, dan berbagai macam ibadah lainnya yang hanya boleh diberikan untuk Allah Ta’ala semata.
Bahkan hampir semua muslim membaca di dalam shalatnya pada do’a iftitah, firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya shalatku dan sembelihanku, hidup dan matiku adalah hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku termasuk yang pertama berserah diri.” (QS. Al An’am : 162)
Imam Muhammad At Tamimi rahimahullah menerangkan akan gamblangnya penjelasan Allah akan perkara ini, “…Allah jelaskan dengan sangat gamblang untuk orang awam, (kejelasannya) melebihi sangkaan semua orang” (Al Ushul As Sittah)
Dengan kata lain seseorang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi atau menamatkan kuliah hanya untuk memahami perkara agung ini, karena kalau tidak begitu berarti Al Qur’an bukan hidayah bagi semua orang! Tapi cukup dalam hal ini seseorang membuka Al Qur’an dan memahami artinya.
KEBENARAN itu Milik Allah SWT, Memohon PadaNya agar ditunjukkan...