BERPEGANG KEPADA AL- QUR'AN DAN AS-SUNNAH.



BERPEGANG KEPADA AL- QUR'AN DAN AS-SUNNAH,
DAN TIDAK BERTAQLID KEPADA SESEORANG.

Firman Allah SWT :
Hai orang-orang yang beriman, tha'atilah Allah dan tha'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [QS. An-Nisaa' : 59]

Hai orang-orang yang beriman, tha'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya), [QS. Al-Anfaal : 20]

Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (31) Katakanlah, "Tha'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (32) [QS. Ali 'Imraan : 31-32]

Dan tha'atlah kamu kepada Allah dan tha'atlah kamu kepada Rasul (Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. [QS. Al-Maaidah : 92]

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. [QS. Al-Hasyr : 7]

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari qiyamat dan dia banyak menyebut Allah. [QS. Al-Ahzaab : 21]

Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. [QS. An-Nisaa' : 64]

Dari ayat-ayat tersebut bisa kita ketahui bahwa kaum muslimin diperintahkan agar tha'at kepada Allah dan Rasul-Nya atau dalam beragama ini berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, karena hanya Allah dan Rasul-Nya itulah yang dijamin pasti benar, sedangkan yang lain tidak dijamin kebenarannya. Didalam hadits juga disebutkan sebagai berikut :

Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Kutinggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat apabila kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu : Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya". [HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ juz 2, hal. 899]

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Semua ummatku kelak akan masuk surga, kecuali orang yang tidak mau". Para shahabat bertanya, "Ya Rasulullah siapa orang yang tidak mau (masuk surga) itu ?".

Beliau SAW bersabda, "Barangsiapa yang tha'at kepadaku, niscaya ia masuk surga dan barangsiapa yang bermakshiyat kepadaku, berarti ia ttidak mau (masuk surga)". [HR. Bukhari juz 8, hal. 139]

Dan Al-Qur'an melarang kita bertaqlid kepada seseorang tanpa mengetahui ilmunya. Allah SWT berfirman :

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [QS. Al-Israa' : 36].

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?". [QS.Al-Baqarah : 170]

Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?.
[QS. Al-Maaidah : 104]

Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaithan itu menyeru mereka kedalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?. [QS. Luqman : 21]

Namun diantara kaum muslimin ada yang mengatakan bahwa orang Islam itu wajib bertaqlid kepada salah satu madzhab. Maka pendapat yang demikian itu tentu tidak sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan kita tahu bahwa para shahabat Nabi dan orang-orang yang lahir sebelum imam madzhab itu tentu tidak ada yang bermadzhab. Bahkan para imam madzhab tersebut telah berpesan sebagai berikut :

Imam Abu Hanifah berkata :
Tinggalkanlah perkataan (pendapatku) yang berlawanan dengan firman Allah, sabda Rasul-Nya dan perkataan shahabat. Tidak halal bagi seseorang yang berkata dengan perkataan kami sehingga mengetahui dari mana kami mengatakannya.

Haram atas orang yang belum mengetahui dalil (alasan) fatwaku untuk berfatwa dengan perkataanku.

Bahwasanya Imam Abu Hanifah pernah ditanya, "Bagaimana apabila engkau mengatakan suatu pendapat, sedangkan Kitab Allah menyalahkannya ?". Beliau menjawab, "Tinggalkanlah pendapatku dan ikutilah Kitab Allah".
Lalu beliau ditanya lagi : "Bagaimana kalau hadits Rasulullah SAW menyalahkannya ?" Beliau menjawab: 'Tinggalkanlah pendapatku dan ikutilah hadits Rasulullah SAW ?"
Dan beliau ditanya lagi, "Bagaimana kalau perkataan shahabat menyalahkannya ?". Beliau menjawab, "Tinggalkanlah pendapatku dan ikutilah perkataan shahabat itu''.

Jika pendapatku menyalahi Kitab Allah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah pendapatku.

Dan Imam Abu Hanifah apabila memberi fatwa tentang suatu perkara, beliau mengatakan : Ini pendapat An-Nu'man bin Tsabit (Imam Abu Hanifah), dan ini sebaik-baik yang telah kami pertimbangkan. Barang siapa yang datang dengan membawa yang lebih baik dari padanya, maka itulah yang lebih dekat dengan kebenaran.

Perkataan Imam Abu Hanifah di atas jelas memberikan pengertian kepada kita bahwa beliau tidak suka dan melarang ummat Islam bertaqlid kepada pendapat (madzhab) beliau.


Imam Malik berkata :
Aku ini hanya seorang manusia yang terkadang salah, dan terkadang betul. Oleh karena itu, perhatikanlah pendapatku. Tiap-tiap yang cocok dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka ambillah dia, dan tiap-tiap yang tidak cocok dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah.

Setiap orang boleh diambil perkataannya dan boleh pula ditolak, kecuali perkataan penghuni qubur ini (beliau sambil menunjuk kearah makam yang mulia (makam Nabi SAW). Dan dalam riwayat lain : "Semua perkataan orang itu boleh diterima dan boleh ditolak, kecuali perkataan penghuni qubur ini".

Sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa, yang boleh jadi salah dan boleh jadi benar, maka dari itu cocokkanlah pendapatku itu dengan kitab Allah dan sunnah Rasul.

Tidak setiap pendapat yang dikatakan oleh seseorang itu harus diikut, walaupun dia mempunyai kelebihan.

Beliau pernah berpesan kepada Ibnu Wahb : Wahai Abdullah, apa-apa yang telah engkau ketahui, maka katakanlah dengannya dan tunjukkanlah dasarnya, dan apa-apa yang engkau belum mengetahuinya, maka hendaklah engkau diam darinya, dan jauhkanlah dirimu dari bertaqlid kepada orang dengan taqlid yang buruk.

Perkataan Imam Malik di atas, jelas melarang bertaqlid kepada seseorang, termasuk bertaqlid kepada pendapat beliau sendiri, karena beliau itupun manusia biasa yang fatwa atau pendapatnya bisa juga benar, dan bisa juga salah, tetapi hendaklah mengikut kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.

Imam Syafi'i berkata :
Tidak boleh diterima perkataan seseorang jika berlawanan dengan sunnah Rasulullah SAW. Apabila telah shah satu hadits, maka itulah madzhabku.

Apabila telah shah khabar dari Nabi SAW yang menyalahi madzhabku, maka ikutilah khabar itu, dan ketahuilah bahwa itulah madzhabku.

Tiap-tiap masalah yang pernah saya bicarakan, kemudian ada hadits yang riwayatnya sah dari Rasulullah SAW dalam masalah itu di sisi ahli hadits dan menyalahi fatwaku, maka aku ruju' (tarik kembali) dari fatwaku itu diwaktu aku masih hidup maupun sesudah mati.

Apabila kalian dapati di dalam kitabku sesuatu yang menyalahi sunnah Rasulullah SAW, maka hendaklah kalian berkata dengan sunnah Rasulullah SAW (dan tinggalkanlah perkataanku).

Apabila kalian mendapati pendapatku menyalahi perkataan Rasulullah SAW, maka lemparkanlah pendapatku ketepi dinding.

Apasaja yang telah aku katakan, apabila Nabi SAW telah mengatakan dengan menyalahi perkataanku, maka apa yang telah shah dari hadits Nabi SAW itulah yang lebih pantas (untuk diambil), dan janganlah kalian bertaqlid kepadaku.

Apabila telah sah suatu hadits dan menyalahi pendapatku, maka buanglah pendapatku ke arah dinding, dan amalkanlah olehmu dengan hadits yang kokoh kuat itu.

Tiap-tiap sesuatu yang menyalahi perintah Rasulullah SAW jatuhlah ia, dan tidak bisa digunakan bersamanya pendapat dan tidak pula qiyas.


Imam Syafi'i berkata kepada Abu Ishaq : Hai Abu Ishaq, janganlah kamu bertaqlid kepadaku pada setiap apa yang aku katakan, dan perhatikanlah yang demikian itu untuk dirimu, karena ia itu agama. Perkataan Imam Syafi'i di atas jelas melarang orang bertaqlid kepada madzhab beliau, dan memerintahkan supaya orang beragama itu mengikuti kitab Allah dan sunnah Nabi SAW.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
Jangan engkau bertaqlid kepadaku, jangan kepada Malik, jangan kepada Syafi'i dan jangan kepada Al-Auza'iy dan jangan kepada Ats-Tsauriy, tetapi ambillah (agamamu) dari tempat mereka mengambilnya (yaitu Al-Qur'an dan Hadits).

Diantara tanda sedikitnya pengertian seseorang itu ialah bertaqlid kepada orang lain tentang urusan agama. Janganlah engkau bertaqlid terhadap seseorang tentang agamamu. Janganlah kamu bertaqlid tentang agamamu kepada seseorang diantara para ulama, tetapi apa yang datang dari Nabi SAW dan shahabatnya, maka ambillah dia.

Perhatikanlah tentang urusan agama kalian, karena sesungguhnya taqlid kepada orang yang tidak ma'shum itu tercela, dan padanya ada kebutaan hati. Janganlah kamu bertaqlid kepada orang-orang tentang agamamu, karena sesungguhnya mereka itu tidak terjamin dari kesalahan.

Perkataan Imam Ahmad bin Hanbal di atas jelas melarang bertaqlid, baik bertaqlid kepada madzhab beliau sendiri maupun kepada imam-imam atau ulama-ulama yang lain. Itulah antara lain ucapan-ucapan dari beliau-beliau para imam itu, dengan jujur melarang siapa saja bertaqlid kepada pendapat/madzhab mereka.

Setelah kita mengetahui apa-apa yang dipesankan atau dikatakan oleh para imam itu, jelaslah bagi kita bahwa orang yang mengatakan; orang Islam itu wajib mengikuti salah satu madzhab dan orang yang tidak bermadzhab itu sesat, adalah nyata-nyata menyalahi Al-Qur'an, menyalahi sabda Nabi SAW. dan menyalahi pula pesan dan perkataan para Imam Rahimahumullooh itu sendiri. Shahabat-shahabat Nabi dan orang-orang yang lahir sebelum lahirnya para imam madzhab itu juga tidak ada yang bermadzhab, bahkan sama sekali tidak mengenalnya.

Dan Imam Abu Hanifah (80 H - 150 H) tidak bermadzhab Syafi'i, Imam Malik (93 H – 179 H) tidak bermadzhab Syafi'i maupun Hanafi. Begitu pula Imam Syafi'i (150 H – 204 H) tidak bermadzhab Hanafi maupun Maliki, dan Imam Ahmad bin Hanbal (164 H – 241 H) tidak bermadzhab Hanafi, Maliki maupun Syafi'i.

Marilah kita berfikir secara wajar karena Allah selalu mendidik kita supaya berfikir dengan wajar.
Dengan penjelasan ini, marilah kita dalam beragama berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang.

Komentar

KATA IMAM SYAFI’I, TINGGALKAN PENDAPATKU JIKA MENYELISIHI HADITS

Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, eh dia malah mengatakan, “Tapi Pak Kyai saya bilang begini eh.” Ini beda dengan imam yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita. Ketika ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau memerintahkan untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat beliau.

Imam Asy Syafi’i berkata,

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي

“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”[1]

Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ

“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?”[2]

Imam Syafi’i juga berkata,

إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ

“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.”[3]

كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ

“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.”[4]

كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي

“Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.”[5]

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ

“Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.”[6]

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.”[7]

Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Az Zumar: 18). Kita sepakati bersama bahwa Al Qur’an dan As Sunnah adalah sebaik-baik perkataan dibanding perkataan si fulan.

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7).

Dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.”[8]

Semoga kata-kata Imam Syafi’i di atas menjadi teladan bagi kita dalam berilmu dan beramal. Tidak membuat kita jadi fanatik dan taklid buta pada suatu madzhab. Boleh saja kita menjadikan madhzab Syafi’i sebagai jalan mudah dalam memahami hukum Islam. Namun ingat, ketika pendapat madzhab bertentangan dengan dalil, maka dahulukanlah dalil.

Wallahu waliyyut taufiq.



@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 5 Rajab 1433 H
Mei 26, 2012 Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
www rumaysho com



[1] Majmu’ Al Fatawa, 20: 211.

[2] Hilyatul Auliya’, 9: 107.

[3] Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63.

[4] Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35.

[5] Hilyatul Auliya’, 9: 107.

[6] Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35.

[7] I’lamul Muwaqi’in, 2: 282.

[8] HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini shahih

Postingan populer dari blog ini

"SAYA TAK MAU BERPISAH DG HARTA SAYA"

:: IBADAH SHOLAT KITA ::

SIFAT-SIFAT YG HARUS DIJAUHI SEORANG MUSLIM