~☀ HUKUM IBADAH ☀~

~☀ HUKUM IBADAH ☀~
[Islam itu Jelas & Tegas'.]
.
'Bismillah'...
IBADAH, merupakan tujuan diciptakannya seluruh jin & seluruh manusia, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu“.(QS : Adz Dzariyat [51] :56).
.
Namun telah tahukah kita bahwa ibadah MEMILIKI SYARAT agar ibadah tersebut diterima di sisi ALLAH sebagai AMAL SHOLEH dan bukan amal yang SALAH?
.
↷□Hukum asal suatu amalan ibadah adalah haram sampai adanya dalil.
↷□Perkara duniawi, hukum asalnya itu boleh sampai ada (atau sudah ada) dalil yang mengharamkannya.
.
~ Saat BERHADAPAN dengan HUKUM ALLAH SWT.~
↷□Tempatkan akal kecerdasan kita dibelakang Al-Qur'an, TAK MUNGKIN kita lebih pintar dari Allah Swt.
↷□Allah Maha Mengetahui, semua yang telah, sedang dan yang akan terjadi. Sedangkan akal manusia, mudah dipengarui apa-apa yang kelihatan saja, sedangkan apa yang sebenarnya terjadi, yang akan terjadi nanti tak akan mampu menganalisa dengan benar.
↷□JANGAN memposisikan AKAL PIKIRAN KITA didepan Al-Qur'an dan as Sunnah.
↷□Amal ibadah sudah ditentukan syariatnya dan itu hak Allah, manusia dilarang (haram) menambahi, mengurangi atau berkreasi sendiri, meski itu baik menurut manusia TAPI tidak ada artinya kalau ALLAH Swt. tidak menyukainya (melarang). BAIK itu belum tentu benar tapi BENAR pasti baik.
.
Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegangan dengannya, yaitu Kitabullah (Al Qur'an) dan sunnah Rasulullah Saw. (HR. Muslim)
.
~JANGAN TAKLID BUTA~
Firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya),
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya (taklid buta). sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. 17:36)
.
Salah satu sikap mental yang juga harus kita buang jauh jauh dalam mencari kebenaran adalah sikap mental taklid buta. Mengikuti suatu fatwa ulama tanpa dikaji secara mendalam kebenarannya.
.
Main makan saja itu fatwa, main telan saja tanpa mau mereka selidiki. Kalau benar fatwa tsb. sesuai maunya Allah, maka beruntunglah si taqlid buta ini. Tapi kalau fatwa tsb menyimpang dari yang dikehendaki Allah, maka binasalah sitaqlid buta ini bersama ulama ulamanya.
.
Mohon ma'af, memang fakta secara umum mentalitas manusia gampang percaya terhadap apa yang di fatwakan ustadznya (ulama). Tanpa mengurangi rasa hormat ada ulama, ustadz selalu dianggap sebagai symbol kebaikan. Dan ini sudah membudaya mendarah daging. Mereka lupa bahwa ulama itu ada dua jenis. Ulama su'u dan ulama pewaris nabi. Masyarakat hampir tak sadar, tidak percaya. bahwa ulama su'u itu ada. Dan bahkan lebih tidak sadar lagi bahwa para perusak agama adalah para ulama su'u dan penguasa thaghut yang jumlahnya mayoritas.
.
Taklid hanya menghasilkan zhan (prasangka) semata dan Allah telah melarang untuk mengikuti prasangka. Allah ta’alla berfirman, yang artinya,
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (Al-An’am: 116).

Namun, yang patut diperhatikan adalah zhan yang tercela dalam agama ini adalah praduga yang tidak dilandasi ilmu. Adapun zhan yang berlandaskan pengetahuan, maka ini tergolong sebagai ilmu yang membuahkan keyakinan sebagaimana firman Allah, yang artinya,

“(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 46).

Inilah beberapa ayat al-Quran yang menerangkan bahwa taklid buta tidak semestinya dilakukan oleh seorang muslim dan kewajiban yang mesti dilakukan oleh seorang muslim adalah mengikuti dalil.


Perkataan Para Imam tentang Taklid

Para imam juga menegaskan kepada para pengikutnya untuk mengikuti dalil, dan tidak bertaklid.  Berikut perkataan mereka:

Imam Abu Hanifah rahimahullah
Beliau mengatakan,

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه

“Tidak boleh bagi seorangpun berpendapat dengan pendapat kami hingga dia mengetahui dalil bagi pendapat tersebut.”

Diriwayatkan juga bahwa beliau mengatakan,

حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي

“Haram bagi seorang berfatwa dengan pendapatku sedang dia tidak mengetahui dalilnya.”



Imam Malik bin Anas rahimahullah
Beliau mengatakan,

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه

“Aku hanyalah seorang manusia, terkadang benar dan salah. Maka, telitilah pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan al-Quran dan sunnah nabi, maka ambillah. Dan jika tidak sesuai dengan keduanya, maka tinggalkanlah.” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 2/32).

Beliau juga mengatakan,

ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم

“Setiap orang sesudah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali perkataan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 2/91).

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
Beliau mengatakan,

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت

“Apabila kalian menemukan pendapat di dalam kitabku yang berseberangan dengan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah sunnah tersebut dan tinggalkan pendapatku.” (Al-Majmu’ 1/63).

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
Beliau mengatakan,

لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الثوري ولا الأوزاعي وخذ من حيث أخذوا

“Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula bertaklid kepada Malik, ats-Tsauri, al-Auza’i, tapi ikutilah dalil.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/201;Asy-Syamilah,).

Beberapa Pertanyaan Seputar Taklid

Mungkin ada yang bertanya, “Sesungguhnya Allah hanya mencela taklid kepada orang-orang kafir dan nenek moyang mereka yang tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak pula berada di atas petunjuk. Allah tidak mencela taqlid orang yang taklid kepada ulama yang memperoleh petunjuk. Bahkan, Allah memerintahkan untuk bertanya kepada ahlu adz-dzikr, yaitu ulama. Ini taklid dan disinyalir Allah dalam firman-Nya, yang artinya,

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43).

Jawaban pertanyaan ini dikemukakan oleh imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan,

أنه سبحانه ذم من أعرض عما أنزله إلى تقليد الآباء وهذا القدر من التقليد هو مما اتفق السلف والأئمة الأربعة على ذمه وتحريمه وأما تقليد من بذل جهده في اتباع ما أنزل الله وخفي عليه بعضه فقلد فيه من هو أعلم منه فهذا محمود غير مذموم ومأجور غير مأزور

“Sesungguhnya Allah ta’alla mencela orang-orang yang berpaling dari apa yang diturunkan oleh Allah kemudian bertaklid kepada perbuatan nenek moyang. Taklid semacam inilah yang dicela dan diharamkan menurut kesepakatan para ulama salaf dan imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Ays-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal). Adapun taklid yang dilakukan oleh orang yang sudah mengerahkan segenap upaya untuk mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah (dalil), namun sebagian permasalahan luput dari pengetahuannya, kemudian dia pun bertaklid kepada seseorang yang lebih alim dari dirinya, maka taklid semacam ini terpuji, tidak dicela, diberi pahala dan tidak berdosa.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/188;Asy-Syamilah,).

Beliau juga pernah menjawab suatu pertanyaan yang redaksinya sebagai berikut, “Sesungguhnya yang dicela adalah orang yang bertaklid kepada seorang yang menyesatkan dari jalan yang lurus, sedangkan  bertaklid kepada seorang yang menunjukkan jalan yang lurus, dimana letak celaan Allah kepada orang tersebut?”

Maka beliau pun menjawab,

جواب هذا السؤال في نفس السؤال فإنه لا يكون العبد مهتديا حتى يتبع ما أنزل الله على رسوله فهذا المقلد إن كان يعرف ما أنزل الله على رسوله فهو مهتد وليس بمقلد وإن كان لم يعرف ما أنزل الله على رسوله فهو جاهل ضال بإقراره على نفسه فمن أين يعرف أنه على هدى في تقليده وهذا جواب كل سؤال يوردونه في هذا الباب وأنهم إذا كانوا إنما يقلدون أهل الهدى فهم في تقليدهم على هدى

“Jawabannya terdapat pada pertanyaan itu sendiri. Seorang hamba tidak akan memperoleh petunjuk sampai dia mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya (dalil). Orang yang bertaklid (muqallid) ini, apabila dia mengetahui dalil (dari pendapat orang yang diikutinya), maka dia telah memperoleh petunjuk dan (hakekatnya) dia bukanlah seorang muqallid. Jika dia tidak mengetahui dalil (pendapat orang yang diikutinya), maka dia adalah seorang yang jahil (bodoh) dan tersesat dengan tindakannya yang menerapkan taklid bagi dirinya. Bagaimana bisa dia mengetahui bahwa dirinya berada di atas petunjuk dalam tindakan taklidnya tersebut? Inilah jawaban untuk seluruh persoalan yang terdapat dalam bab ini (yaitu bab taklid). Mereka itu hanya (diperintahkan) untuk bertaklid kepada orang yang berada di atas petunjuk, sehingga taklid mereka pun berada di atas petunjuk.” (I’lam al-Muwaqqi’in 2/189;Asy-Syamilah,).
.
~SYARAT dlm IBADAH adalah:
[1] Berniat IKHLAS kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan
[2] ITTIBA’ (mencontoh) Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam.
.
Dua syarat ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala abadikan dalam firmanNya di ayat terakhir surat Al Kahfi dalam satu kesempatan sekaligus (yang artinya), “Sesunggunya Sesembahan kalian adalah sesembahan yang esa, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah ia beramal ibadah dengan amalan yang sholeh dan tidak menyekutukan Robbnya dalam amal ibadahnya dengan suatu apapun“.(QS : Al Kahfi: 110).
.
Ibnu Katsir Asy Syafi’i rohimahullah seorang pakar tafsir yang tidak diragukan lagi keilmuannya mengatakan, ““Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.” Kemudian beliau mengatakan, “Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”.
.
Dalil lainnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dzat Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amal ibadahnya”.(QS : Al Mulk: 2).
.
Fudhail bin ‘Iyaad rohimahullah seorang Tabi’in yang agung mengatakan ketika menafsirkan firman Allah, (yang artinya) “yang lebih baik amal ibadahnya” maksudnya adalah yang paling ikhlas dan yang paling benar (paling mencocoki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Kemudian beliau rohimahullah mengatakan, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima".
.
"Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima".
.
"Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah".
.
"Amalan dikatakan showab apabila mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
.
Adapun dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam untuk syarat kedua adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalan Amirul Mu’minin yang pertama Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu (yang artinya), “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijroh karena  Allah dan RasulNya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena harta, wanita (misalnya) yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita)”.

Wallahu A'lam Bishawab.
.
Vidio Ceramah : https://mobile.facebook.com/story.php?story_fbid=1197489873616627&id=1024439517588331

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"SAYA TAK MAU BERPISAH DG HARTA SAYA"

:: IBADAH SHOLAT KITA ::

INFO LOWONGAN KERJA